BeritaMantap.com - DARAH SYUHADA TUMPAH MEMBASAHI BUMI SUNGAI MALANG 15 September 1860 (150 Tahun Silam)
Pada tanggal 15 dan 12 September 1860, pasukan Kolonial Belanda kembali berhasil memasuki Amuntai. Hal ini disebabkan karena keuletan pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN EMDE dan VERSIJCK. Dengan pasukan 100 orang, berhasil mengadakan hubungan antara RINGKAU KANTAN dengan AMUNTAI melalui suatu daerah yang sangat asing sekali.Di Tabalong pasukan Kolonial Belanda masih dipimpin oleh EICHELBACH. Di sana sempat terjadi perlawanan dari para pejuang yang mengakibatkan tertundanya rencana untuk melumpuhkan para pejuang oleh pasukan Kolonial Belanda. Namun usaha para pejuang tidak dapat bertahan lama, sebulan kemudian pasukan Kolonial Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan para pejuang.
Pada tanggal 14 September 1860, dua orang pimpinan pejuang, yaitu PENGHULU SOELATIF dan DJALALOEDIN jatuh dalam perangkap pasukan Kolonial Belanda, akhirnya ditahan dan diperiksa/diselidiki. Tertangkapnya dua orang pimpinan pejuang tersebut dikarenakan usaha kedua pejuang tersebut untuk menyeludup ke dalam tangsi (benteng) pada malam hari untuk membuat keonaran di dalam tangsi, telah diketahui oleh spion (mata-mata) Belanda dan melaporkannya kepada pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN OIJEN.
Para pejuang yang bersatu, hampir semuanya para tokoh agama (haji) yang berpusat di SUNGAI MALANG. Salah seorang dari pejuang, yaitu ABDULLAH menderita luka pada pahanya akibat terkena tembakan. VAN OIJEN setelah mengetahui semua itu bertekad untuk segera menangkap para pejuang dengan jalan apa pun.
Pasukan Kolonial Belanda terus mengadakan operasi/ekspedisi, dan mereka menganggap usaha untuk melumpuhkan para pejuang itu seakan-akan enteng, mudah saja. Namun apa sebaliknya, dalam pertempuran tersebut banyak berjatuhan korban, ditandai jatuhnya seorang perwira dan beberapa prajurit dari pasukan Kolonial Belanda.
Pada waktu subuh tanggal 15 September 1860, sudah disiapkan satu datasemen pasukan oleh Kolonial Belanda sebanyak 60 orang. Mereka terbagi dalam 3 peleton di bawah komando VAN EMDE, VERSPIJCK, dan VAN der WIJCK untuk melaksakan perintah penangkapan terhadap para pejuang. Tapi rencana tersebut tidak diberitahukan kepada para prajurit pasukan Belanda, kecuali para perwira saja. Ketika hendak berangkat, rencana tersebut baru diberitahukan kepada para prajurit Belanda. Mendengar rencana untuk menangkap para pejuang, para prajurit Belanda menjadi cemas, karena sudah tidak asing lagi bagi mereka bahwa pertempuran dengan para pejuang pasti akan terjadi dan berlangsung seru. Para pejuang tidak akan mundur dan menyerah begitu saja. Para pejuang akan bertempur sampai tetes darah penghabisan, karena mereka dipimpin oleh para ulama-ulama yang sangat fanatik dan meyakinkan para pejuang bahwa perlawanan terhadap musuh wajib hukumnya. Untuk menghilangkan kecurigaan para pejuang, para prajurit pasukan Kolonial Belanda tidak berani meniup terompet dan tidak menyentuh genderang. Mereka mengganti isyarat untuk terjun ke medan pertempuran hanya dengan kedipan mata dari pimpinan saja.
Setelah mengadakan pengamanan, pasukan Belanda mengadakan penyerangan terhadap para pejuang, dengan menyusup melalui padang alang-alang dan tanah persawahan menuju sarang persembunyian para pejuang.
Dalam penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda di bawah komando VAN EMDE. VAN EMDE dianggap oleh para pasukan Belanda sebagai seorang pimpinan yang akan membawa kemenangan, karena VAN EMDE sering membawa kemenangan seperti yang pernah terjadi pada pertempuran di KELUA, KARANGAN PUTIH, MUNGGU FAJAR, dan lain-lain. Selain itu juga VAN EMDE mempunyai taktik perang yang cukup tinggi, dan juga merupakan seorang komandan yang gagah berani.
Pada saat penyergapan tersebut, tiba-tiba ada pertanyaan dengan suara yang sangat keras oleh seorang pejuang. VAN EMDE merasa bahwa teguran itu sangat kasar dan memberikan peringatan kepada para pejuang bahwa tindakan itu sangat kurang ajar. Peringatan VAN EMDE dijawab oleh para pejuang dengan tindakan meminta maaf atas ucapan mereka. Para pejuang menjelaskan kenapa mereka harus berbuat demikian, karena orang tua mereka HAJI ABDULLAH seorang yang tunduk kepada Goebernemen, pada saat melakukan ibadah sembahyang dengan tidak terduga-duga telah kena telawang dan luka. Oleh karena itu orang tua kami terpaksa harus dirawat di rumah dan dalam keadaan yang serba tidak aman dan tentram sekarang ini, kami harus sangat hati-hati, tetap waspada dan siap siaga, karena itulah secara berganti-ganti kami menjaga orang tua kami yang sedang sakit.
VAN EMDE tidak merasa puas dengan alasan-alasan yang diberikan para pejuang, lalu dia kembali bertanya siapakah sebenarnya mereka? Para pejuang kembali memberikan jawaban bahwa mereka adalah: HAJI SINGAT dan JOESIP beserta 2 orang pengikut.
Mendengar semua itu VAN EMDE menganggap mudah untuk menyergap keempat para pejuang itu. Namun, VAN EMDE juga berpikir kalau dia menyergap para pejuang itu sekarang maka akan sulit mencapai tujuan akhir. Di samping itu pula, para pejuang pasti akan mengadakan perlawanan dan memberikan tanda alarm kepada para pejuang lainnya.
Oleh karena itu, VAN EMDE tetap tenang-tenang saja dan berkata kepada para pejuang (penjaga), “Beritahukan orang tua kamu (para pejuang) atas kedatangan saya dan bahwa saya Tuan A.R. VAN Oijen mengetahui atas musibah yang menimpa Haji yang sedang memerlukan pertolongan! Karenanya kami bermaksud membawanya ke rumah Tuan Regent di Amuntai dan mengadakan pengobatan sebaik-baiknya di sana, mengingat sangat sulit bagi tuan dokter untuk menempuh jarak yang begitu jauh, pulang pergi ke Sungai Malang setiap hari.”
Mendengar seruan dari VAN EMDE, Haji Sirat dan kawan-kawan dapat menerimanya, dengan diikuti pasukan Belanda, para pejuang menuju ke rumah kediaman orang tuanya. Sementara itu jumlah para pejuang telah bertambah dari 4 orang menjadi 11 orang.
Setibanya di rumah pertama (kampong ini hanya terdiri dari 3 buah rumah saja), maka VAN EMDE memerintahkan kepada Letnan VERPSIJCK untuk terus berjalan melewati rumah-rumah itu dan dengan diam-diam mengadakan barikade/stelling pada sebelah kanan dan bagian belakangnya, terdiri dari 20 prajurit dan lain-lain anggota pengangkut.
Perintah yang sama juga diberikan kepada VAN der WIJK untuk menutup bagian sebelah kiri lainnya dengan ketentuan, bahwa dia sama sekali tidak boleh meninggalkan pos itu untuk menghindari kemungkinan serangan para pejuang dari belakang. Dengan demikian yang langsung di bawah pimpinan VAN EMDE hanya terdiri dari 1 peleton saja.
Selanjutnya VAN EMDE menuju pelataran rumah kediaman HAJI ABDULLAH, dikawal dengan 15 bayonet dan beberapa opas yang telah diperbantukan kepada VAN EMDE oleh pemerintah sipil di Amuntai. Rumah itu dibangun di atas tiang yang cukup tinggi dan terdapat 11 orang laki-laki, serta 4 orang wanita, dan kemungkinan llebih banyak lagi penghuninya dari apa yang telah didengar dari luar.
Beberapa di antara beberapa para pejuang mencoba menerobos menghilang dari pintu sebelah sisi rumah, namun usaha tersebut dapat dicegah oleh VERPSIJCK. Jumlah yang ada sekarang adalah 19 orang Banjar, di antaranya 7 orang haji yang masih muda, berperawakan tegap dan bersenjatakan senapang.
VAN EMDE melalui perantara seorang opas menyampaikan keinginan untuk bertemu dengan HAJI ABDULLAH yang sudah tua dan sedang sakit, bahwa VAN EMDE bermaksud untuk membawa HAJI ABDULLAH ke kota Amuntai dengan mempergunakan tandu. Pada mulanya HAJI ABDULLAH bersedia diangkut dan VAN EMDE disertai oleh 4 orang pembantunya mendekati tempat pembaringan HAJI ABDULLAH yang menerimanya dengan wajah yang cemas dan dendam di sisinya.
Sesudah berbicara beberapa patah kata, maka VAN EMDE menuju ke luar ke serambi rumah muka, di mana dia terlibat dalam percekcokan dengan anak buah HAJI ABDULLAH yang menentang sekeras-kerasnya atas pengangkutan orang tua mereka ke Amuntai. Dengan cara tenang VAN EMDE berhasil membujuk mereka dan mereka setuju mengawal orang tuannya, disertai lagi dengan seseorang yang bernama MAT NASSIR. Kemudian berkatalah HAJI JOESIP, “Kalau demikian, baiklah dan dipersilahkan mengangkatnya!”
Sementara itu secara diam-diam VERPSIJCK dan VAN der SPIJK berhasil merapatkan para prajuritnya, sehingga terkurunglah keluarga HAJI ABDULLAH dan tidak mungkin lolos lagi. VERPSIJCK tetap siap sedia dan berdiri tidak jauh dari beberapa langkah dengan VAN EMDE.
Keadaan sunyi, tetap mendebarkan. Dikawal oleh seorang sersan Belanda dan 2 prajurit, masuklah para pengangkut ke ruangan dalam dengan membawa tandu yang telah dipersiapkan. VAN EMDE sendiri bersama 15 orang prajuritnya yang siap tempur berdiri di pelataran muka. Saat-saat yang menenentukan akan tiba. Semua orang yang ada di sana memandang kea rah luar dan dari raut muka masing-masing terlihat kegelisahan. Hanya komandan VAN EMDE kelihatan tenang-tenang saja dan dengan klewang terhunus VAN EMDE berbicara dengan beberapa haji.
HAJI ABDULLAH dibawa keluar kamar dengan tandu. Di sini dia berpamitan dengan para pengikutnya, karena yang siap mengikuti atau mengawal hanya 2 orang anaknya saja dan disertai oleh MAT NASSIR.
Ketika tandu akan diturunkan dari pelataran muka, HAJI ABDULLAH berpikir kembali dan memanggil putranya yang bernama JOESIP agar mendekatinya. Sesudah berbisik-bisik dan sesudah itu JOESIP mendekati VAN EMDE dengan tiba-tiba HAJI ABDULLAH sambil membacakan suatu ayat dari AL QUR’AN, memeberikan komando atau perintah untuk mengamuk.
Seketika itu juga ke 19 orang pejuang muslim yang sangat fanatik ikut mencabut klewang-klewang dan keris-keris mereka masing-masing dan menggempur para prajurit pasukan Belanda. Terjadilah pertempuran yang luar biasa sengitnya, dan sangat kejam. Suatu perang-tanding yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pertempuran-pertempuran terdahulu.
Pada saat permulaan telah dilancarkan dua pukulan klewang pada kepala VAN EMDE, serangan itu ditangkis oleh VAN EMDE dengan tangan dan mengakibatkan tangannya terputus sama sekali. Sesudah itu para pejuang kembali melancarkan pukulan ketiga terhadap VAN EMDE, namun VAN EMDE berhasil mencabut klewang dan dapat melumpuhkan para pejuang dengan pukulan pada bahu para pejuang. Dengan secepat kilat 2 orang haji menyerbu untuk menolong temannya, sedangkan VERSPIJCK membela mati-matian VAN EMDE. Melihat bahwa rasanya tidak dapat terus bertahan, maka dengan cepat VERSPIJCK menarik VAN EMDE dari pertarungan di pelataran itu, sambil membela diri mati-matian.
Dengan pertolongan prajurit DE LATER maka VERSPIJCK berhasil melumpuhkan kedua orang pejuang, namun tidak dapat mencegah VAN EMDE menderita tusukan sebanyak 7 mata luka, di antaranya 2 luka dari pelor. Sementara VERSPIJCK sendiri menderita luka-luka ringan saja.
Pada saat-saat yang singkat, para pejuang masih mencoba menjatuhkan tusukan keris terakhir pada VAN EMDE, tetapi dengan segala daya yang masih tersisa VAN EMDE tetap berjuang membela diri sampai ke tepi pelataran rumah sambil memegang seorang pejuang sekuat tenaga. Sewaktu salah satu tangan seorang pejuang keluar, maka satu pukulan klewang dari VERSPIJCK, tangan itu langsung putus. Sedangkan seorang prajurit lainnya dengan tusukan bayonet pada mulut pejuang yang putus tangannya tadi, pejuang tersebut langsung mati seketika itu juga.
Di lain pihak semua prajurit dari VAN der WIJCK tidak dapat berbuat apa-apa, tapi masih dapat berhasil menyeret membawa keluar VAN EMDE dalam keadaan masih hidup, namun penuh dengan 9 mata luka. Pada ketika itu VERSPIJCK mengambil alih komando dan menyerbu ke medan pertempuran yang masih berjalan dengan serunya, bertanding satu lawan satu, suatu pertandingan mati-matian terbentang di hadapannya. Seorang letnan muda bernama TIERBACH, berumur 19 tahun sedang dikerumuni oleh para pejuang dan berhasil menewaskan semua pejuang dengan keberanian yang luar biasa. TIERBACH tetap tidak mendapat cidera dan keluar sebagai pemenang.
Seorang yang bernama WIROSENTIKO, yaitu mandur dari orang-orang hukuman yang menyertai pasukan ekspedisi tersebut yang hanya bersenjatakan sebilah keris, bertarung melawan 2 orang pejuang. WIROSENTIKO mendapatkan pukulan klewang dan tusukan keris dari dua orang pejuang, namun dari cucuran darah yang mengalir dari salah seorang pejuang ternyata WIROSENTIKO telah sempat juga mempergunakan kerisnya dan tusukan keris yang kedua diarahkan ke perut haji, maka haji tersebut terkulai mati karenanya. Sedangkan haji lainnya yang belum terluka menyerbu dengan ganasnya ke arah WIROSENTIKO, sehingga WIROSENTIKO terpaksa mengundurkan diri sampai ke tepi pelataran. Di sini WIROSENTIKO kehilangan keseimbangan, dan kesempatan ini pula dipergunakan orang Banjar untuk membenamkan kerisnya kea rah WIROSENTIKO. Namun meskipun dia sudah sangat payah sekali akibat banyaknya darah yang mengalir, tapi dia tidak menyerah begitu saja, ia menjepit tangan kana seorang pejuang sekuat-kuatnya.
Sekarang merupakan pertarungan yang sangat menentukan dan masing-masing mencoba membinasakan lawannya. VERSPSIJCK yang melihat keadaan sangat gawat ini dengan sekali loncatan dan sekali pukulan klewang kea rah orang Banjar sehingga menewaskan orang Banjar tersebut, namun pada saat terakhir orang Banjar tersebut sempat melemparkan klewang ke arah VERPSIJCK.
Ke-4 wanita yang selama terjadi perkelahian kelihatan tenang-tenang saja dan tinggal di ruangan dalam, menarik perhatian VERPSIJCK sehingga dia merasa kasihan kepada mereka. Untuk menyelamatkan mereka, ditempatkanlah seorang penjaga di dekat pintu keluar, kemudian VERPSIJCK menuju kea rah yang luka-luka. VAN EMDE masih bernafas, 8 prajurit luka berat, 2 orang meninggal. Dan kalau kita mengarahkan pandangan ke arah mayat-mayat orang Banjar, kita pasti dapat membayangkan betapa sengitnya pertarungan yang baru saja terjadi di tempat itu.
Rupanya tragedy ini tidak hanya sampai di sini, karena tiba-tiba terdengar pekikan-pekikan seru dan mengerikan dari ke-4 wanita tadi, yang dengan klewang dan keris terhunus menyerbu ke penjaga pintu. Sebelum sempat memberikan pertolongan, si penjaga pintu tadi langsung tewas dengan 17 mata luka.
Meskipun VERPSIJCK telah berusaha keras mengendalikan balas dendam dari para prajurit, namun akhrnya ke-4 wanita/perempuan itu dibunuh, dibinasakan juga. Jumlah korban pejuang menjadi 24 orang, sedangkan di pihak Belanda terdiri dari 3 orang meninggal, 11 orang luka berat, 2 orang di antaranya meninggal kemudian.
Pada sorenya sekitar pukul setengah dua, pasukan Belanda sudah kembali di Amuntai. VAN EMDE kemudian meninggal dalam pelukan teman-temannya di Amuntai. Kematian VAN EMDE merupakan suatu kerugian yang sangat besar untuk tentara dan tanah air Belanda.
dari Kisah “PERANG BANJAR”
PENANGKAPAN HAJI ABDULLAH (15 SEPTEMBER 1860)
Judul Asli “De Bandjarmasinse Krijg”
Oleh: W.A. VAN RESS
Alih Bahasa oleh: H.M. SALEH
Bibliotheek MINSEIBU Banjarmasin
(Halaman 293-301)
SUMBER: |