 BeritaMantap.com -  Terbongkarnya makelar kasus di tubuh kepribadian semakin menambah  persepsi negatif tentang lembaga Negara yang satu ini. Hal demikian  semakin memperburuk citra polisi dan memperlemah kepercayaan masyarakat  ketika berurusan dengan polisi. Sebagai contoh yang pernah dialami oleh 2  orang mahasiswi FKIP Unlam Banjarmasin, ketika itu kedua mahasiswi  tersebut sedang terburu-buru pergi ke tempat teman mereka mengerjakan  tugas kuliah. Tanpa sengaja mereka menerobos lampu merah, terang saja  polisi langsung memberhentikan mereka. Polisi langsung membawa mereka ke  kantor polisi untuk menyelesaikan semua dan mempertanggung jawabkan  perbuatan mereka yang melanggar aturan lalu lintas. Di kantor polisi  tersebut polisi marah-marah kepada kedua mahasiswi tadi, akhirnya polisi  memberikan dua pilihana jika mereka ingin kasus ini selesai. Yang  pertama mereka harus datang ke pengadilan pada hari yang ditentukan  dengan membawa orang tua/wali atau mereka membayar denda sebesar Rp  90.000. Karena tidak ingin ribet dan berhubung juga bertabrakan dengan  jadwal kuliah akhirnya kedua mahasiswi tersebut memilih untuk membayar  uang Rp 90.000 kepada polisi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.  Polisi pun menyetujuinya, tapi kejadian uniknya adalah ketika salah satu  dari mahasiswi tadi memberikan uang Rp 100.000, otomatis masih ada  kembaliannya Rp 10.000, tapi oleh mahasiswi tersebut langsung dikatakan  “ambil saja Pak kembaliannya” kepada Pak polisi. Mendengar itu Pak  polisi yang tadinya marah-marah berbalik menjadi ramah tamah bahkan  ketika pulang kedua mahasiswi tadi sampai diseberangkan ketika  menyeberang ketika menyeberang jalan.
BeritaMantap.com -  Terbongkarnya makelar kasus di tubuh kepribadian semakin menambah  persepsi negatif tentang lembaga Negara yang satu ini. Hal demikian  semakin memperburuk citra polisi dan memperlemah kepercayaan masyarakat  ketika berurusan dengan polisi. Sebagai contoh yang pernah dialami oleh 2  orang mahasiswi FKIP Unlam Banjarmasin, ketika itu kedua mahasiswi  tersebut sedang terburu-buru pergi ke tempat teman mereka mengerjakan  tugas kuliah. Tanpa sengaja mereka menerobos lampu merah, terang saja  polisi langsung memberhentikan mereka. Polisi langsung membawa mereka ke  kantor polisi untuk menyelesaikan semua dan mempertanggung jawabkan  perbuatan mereka yang melanggar aturan lalu lintas. Di kantor polisi  tersebut polisi marah-marah kepada kedua mahasiswi tadi, akhirnya polisi  memberikan dua pilihana jika mereka ingin kasus ini selesai. Yang  pertama mereka harus datang ke pengadilan pada hari yang ditentukan  dengan membawa orang tua/wali atau mereka membayar denda sebesar Rp  90.000. Karena tidak ingin ribet dan berhubung juga bertabrakan dengan  jadwal kuliah akhirnya kedua mahasiswi tersebut memilih untuk membayar  uang Rp 90.000 kepada polisi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.  Polisi pun menyetujuinya, tapi kejadian uniknya adalah ketika salah satu  dari mahasiswi tadi memberikan uang Rp 100.000, otomatis masih ada  kembaliannya Rp 10.000, tapi oleh mahasiswi tersebut langsung dikatakan  “ambil saja Pak kembaliannya” kepada Pak polisi. Mendengar itu Pak  polisi yang tadinya marah-marah berbalik menjadi ramah tamah bahkan  ketika pulang kedua mahasiswi tadi sampai diseberangkan ketika  menyeberang ketika menyeberang jalan.
Sungguh ironis sikap polisi tersebut, sikapnya langsung bisa berubah  hanya karena uang 10rb, apalagi jika diberikan uang milyaran rupiah,  bisa ditebak apa yang akan terjadi? Wajar jika markus (makelar kasus)  pun bersarang di tubuh Polri. Polisi yang selama ini dipercaya  masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka justru berbalik  menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat. Inilah bukti dari  lembaga keamanan yang berada di bawah Negara bersistem kapitalis, semua  dapat dibeli dengan uang tak terkecuali itu adalah keadilan. Sehingga  ketika orang miskin yang meminta keadilan maka hanya menjadi mimpi yang  takkan terwujud.
Berbeda halnya dengan polisi dalam Islam. Polisi (syurthah) bertugas  menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam  Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap  wilayah/daerah  yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah  tersebut.
Polisi (syurthah) dalam Negara Islam (Khilafah) ada 2 yakni polisi  militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah.  Adapun yang boleh menjadi polisi adalah pria dan wanita balig, dan  warga Negara Khilafah. Mereka mempunyai seragam tersendiri, dengan  identitas khusus untuk menjaga keamanan.
Adapun yang layak menjadi kepala polisi (syahib as-syurthah), menurut  Ibn Abi ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, adalah orang  yang sabar, berwibawa, tidak banyak bicara, berpikir panjang dan  mendalam, tegas, cerdas, hidupnya bersih, tidak grasa-grusu, sedikit  senyum dan tidak mudah memberi ampun.
Tugas utama polisi adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Selain itu,  mereka juga ditugasi untuk menjaga system, mensupervisi keamanan di  dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi. Adapun  maksud polisi berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah  (wali/’amil), mereka akan malaksanakan apa saja yag dibutuhkan oleh  Khalifah/kepala daerah sebagai pasukan eksekusi untuk mengeksekusi  pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga system, keamanan, patrol, ronda  malam hari, mengintip pencuri, mencari pelaku criminal dan orang yang  dikhawatirkan keburukannya (Ajhizat Daulah al-Khilafah, hal 95, 96 dan  99; Anwar ar-Rifa’I, al-Insan al-‘Arabi wa al-Hadharah, hal 235).
Polisi juga bertugas menghukum orang-orang yang dicurigai (ahl ar-raib),  karena bekerja sama dengan kafir Harbi fi’lan (musuh umat Islam).  Orang-orang yang seperti ini bisa muslim maupun ahli Dzimmah, bisa  individu maupun organisasi. Kalau sekarang, mereka itu seperti aktifis  liberal, LSM komprador, dan antek-antek AS, Inggris maupun sekutunya  yang lain yang memusuhi Islam. Dalam kasus ini negara bisa memata-matai  mereka dengan alasan bahwa  memata-matai kafir Harbi fi’lan hukumnya  wajib dan kafir Harbi hukman dalam kondisi normal boleh, tetapi bisa  juga wajib ketika membahayakan Negara.begitupun dengan orang-orang yang  dicurigai juga boleh untuk memata-matai mereka.
Dalam kasus murtad, ketika vonis hukuman mati sudah dijatuhkan oleh  pengadilan (qadha’ khushumah), maka polisilah yang mengeksekusi hukuman  mati tersebut. Dalam kasus terror, merompak, merampok harta masyarakat  dan menghilangkan nyawa mereka, Negara bisa mengirim polisi untuk  mengikuti gerak-gerik mereka, menangkap dan menjatuhi hukuman bunuh dan  disalib, atau dibunuh, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang,  atau dibuang di suatu tempat terpencil. Sementara terhadap tindakan  mencuri, merampok, korupsi, menyerang orang, baik dengan memukul,  melukai, membunuh maupun menyerang kehormatan mereka, dengan mencemarkan  nama baik dan menuduh zina, kepolisian bisa mencegahnya dengan deteksi  dini, pengawasan dan control. Dalam kasus ini, polisi juga bertindak  sebagai eksekutor, ketika vonis telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Inilah fakta kepolisian dalam system pemerintahan Islam. Tugas dan  tanggung jawab mereka memang berat, tetapidengan ketakwaan dan tsaqofah  Islam yang ditanamkan secara mendalam kepada mereka, maka tugas berat  itu pun bisa mereka jalankan dengan keikhlasan sebagai ibadah kepada  Allah.
Sosok polisi yang seperti inilah yang umat dambakan di masa akan datang  yang mampu memberikan penyelesaian masalah benar-benar ikhlas menolong  masyarakat tanpa melihat kaya dan miskin, tinggi dan rendah derajat  mereka karena polisi tersebut bekerja berdasarkan kesadaran akan amanah  dari Allah swt. (Rusma)
 
 
 


 
 
 
