 BeritaMantap.com - BEBERAPA waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya tulis ilmiah yang  disusun oleh seorang intelektual Mesir Syeikh Muhammad Quthub. Beliau  dilahirkan dari keluarga terdidik dan agamis. Rupanya, faktor keluarga   yang mengantarkan beliau memiliki reputasi yang baik di dunia Islam.  Dosen pasca sarjana di Universitas Ummul Qura' itu pernah pula  memperoleh hadiah nobel dunia Islam King Faishal Abdul Aziz atas karya  spektakulernya setelah mengalami futur (stagnasi) dan berhasil  mengkhatamkan al-Quran sebanyak 15 kali  “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyan Wa Tathbiqiyyan.”
BeritaMantap.com - BEBERAPA waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya tulis ilmiah yang  disusun oleh seorang intelektual Mesir Syeikh Muhammad Quthub. Beliau  dilahirkan dari keluarga terdidik dan agamis. Rupanya, faktor keluarga   yang mengantarkan beliau memiliki reputasi yang baik di dunia Islam.  Dosen pasca sarjana di Universitas Ummul Qura' itu pernah pula  memperoleh hadiah nobel dunia Islam King Faishal Abdul Aziz atas karya  spektakulernya setelah mengalami futur (stagnasi) dan berhasil  mengkhatamkan al-Quran sebanyak 15 kali  “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyan Wa Tathbiqiyyan.” 
Karya tulis beliau yang saya maksud berjudul “Hal Nahnu Muslimun?"  (Muslimkah Kita?). Berbagai buku karangan beliau yang pernah saya baca  menunjukkan bahwa beliau adalah akademisi inovatif, kreatif dan  produktif, yang sangat peduli dengan nasib yang menimpa bangsanya.  Beliau saudara kandung Sayid Quthub dan Hamidah Quthub.
Setelah  saya bolak-balik buku tersebut, saya sedikit merenung dan lahirlah  pertanyaan-pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik, betapa berat dan  strategisnya membangun citra diri sebagai muslim di tengah-tengah  lingkungan social kita yang identik “sok sial”. Selanjutnya, saya bisa  membuat kesimpulan yang agak mudah dipahami, sesungguhnya persepsi orang  lain terhadap jati diri kita yang mewakili lingkungan strategis  berbanding lurus dengan keberhasilan kita dalam membangun citra diri.  Jika citra diri (gambaran mental) kita positif, orang lain  mempersepsikan kita kurang lebih sama. Dan demikian pula sebaliknya.
Saya juga membaca buku komunikasi, psikologi, sejarah, sosiologi sebagai bahan perbandingan (muqaranah) dalam memperkuat kualitas komitmen (iltizam)  keberagamaan saya. Menurut Stone (pakar psikologi social), sesungguhnya  penampilan adalah fase transaksi social yang menegaskan identitas para  partisan (pemeran-serta transaksi social tersebut). Penampilan itu,  sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana yang kita  konseptualisasikan sebagai teks transaksi. Penampilan dan wacana adalah  dua dimensi yang kontradiksi dari transaksi sosial.
Penampilan tampaknya bersifat lebih fundamental. Ia memungkinkan,  menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi  (perwujudan) berbagai kemungkinan wacana dengan jalan memastikan  kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna. Satu amal lebih  fasih dari seribu kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal),  meminjam sastra Arab.
Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita  segera mengkategorikan orang lain dalam satu kategori yang terdapat  dalam laci memori kita. Kita akan secepatnya mengelompokkannya sebagai  mahasiswa, cendikawan, petani, pedagang, atau kiai.
Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal,  petunjuk proksemik, petunjuk kinestik, petunjuk wajah, petunjuk  paralinguistic, dan petunjuk artifaktual.
Proyek Besar Peradaban Kita ?
Al-Hamdulillah  wasy syukru lillah, hari ini kita kecipratan nikmat berislam. Berkat  perjuangan air mata dan darah yang istiqamah dan tidak mengenal lelah  pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Bahkan, kebanyakan  mereka mengakhiri hidupnya di medan dakwah. Para wali-wali dahulu  datang ke negeri ini, meninggalkan negeri dan tanah tumpah darah mereka  mengarungi samudra yang tidak bertepi karena mereka yakin bahwa Islam  ini adalah jalan kebenaran dan jalan keselamatan.
Di antara bukti faktualnya pada medan semantik membuktikan, kosa kata  yang digunakan bangsa Indonesia adalah inhearent dengan term Islam.  Islam yang datang ke Nusantara ini dengan cara damai dan mencerahkan  (merubah cara pandang dengan metode yang sistematis) telah menjadi  bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa (refleksi dari keyakinan  yang dianut). Budaya senyum, sapa, supel, menghormati tamu, tepo sliro,  toleran, tegas dalam prinsip, tahan uji dalam menghadapi ujian,  paternalistik adalah turunan (derivasi) dari Islam.
Secara  historis, Islam adalah ajaran terakhir yang menyempurnakan ajaran  nabi-nabi sebelumnya dan terbukti hingga kini masih steril dari berbagai  penyimpangan tangan jahil manusia, maka pemeluknya berhak  menyebarkan  kebenaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah konsekwensi sebagai  umat terakhir dari penutup para nabi dan utusan Allah SWT.
Jadi, kewajiban jihad dakwah secara otomatis terpikul pada setiap individu muslim, dalam kedudukan apapun dan dimanapun dan kapanpun. Maka setelah kita berhasil mengirimkan para mujahid dakwah secara terjun bebas di seluruh pelosok nusantara, dilanjutkan ekspansi dakwah ke luar negeri. Ke depan perwakilan Hidayatullah di luar negeri hal yang niscaya. Sehingga kita mengembalikan ketaatan manusia hanya kepada pemilik kehidupan, Allah SWT.
Itulah sebabnya di pundak seorang muslim terpikul tanggungjkawab yang tidak ringan. Islam sudah memberikan mediator untuk mengadakan muhasabah yaumiyyah, usbu’iyah, syahriyyah, ‘amiyyah atau marrotan fil ‘umr (sekali seumur hidup), secara berkesinambungan dan radikal. Betulkah kehidupan kita secara individu, keluarga, masyarakat, baik aspek ideologi, sosial, kebudayaan, politik, keamanan merujuk keislaman yang sudah kita anut salama ini? Inilah proyek besar peradaban kita !. Menata ulang persepsi, perasaan, perilaku mereka agar selaras dengan referensi Islam itu sendiri.
Hanya saja, yang perlu menjadi catatan penting, bahwa pesan Islam  tidak akan sampai kepada obyek dakwah hanya dengan ceramah-ceramah,  makalah-makalah, seminar-seminar, orasi-orasi, diskusi-diskusi,  diplomasi-diplomasi (katsratur riwayah).  Justru, Islam sampai  menerobos dinding-dinding pembatas teritorial dunia ini dengan  akhlak/moralitas yang melekat dalam diri para muballigh itu sendiri.  Akhlak yang mulia itu merupakan gambaran dari kekokohan iman/keyakinan.
وَقَالَ  لِفِتْيَانِهِ اجْعَلُواْ بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ لَعَلَّهُمْ  يَعْرِفُونَهَا إِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ  يَرْجِعُونَ
فَلَمَّا رَجِعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُواْ يَا أَبَانَا  مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا  لَهُ لَحَافِظُونَ
"Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah  itu tidak ada ketakutan dan kesedihan hati pada mereka. (Yaitu)  orang-orang yang beriman dan selalu  bertakwa (memelihara iman dengan  akhlak) (QS. Yunus (10) : 62-63)."
Jadi, yang menjadi  tantangan dakwah ke depan adalah bagaimana kita mendekatkan jarak diri  kita dengan refrensi Islam itu sendiri. Setiap individu muslim adalah  sebagai alat peraga dakwah. Kita dituntut menjadi al-Quran dan al-Hadits  yang beroperasi secara kongkrit di jalan raya, pasar, gedung parlemen,  lembaga pendidikan, tempat-tempat wisata, dan di tempat-tempat yang  lain. Karena semua medan kehidupan menghajatkan untuk ditemani Islam,  agar tidak membuat pemburunya kecewa. Terjangkiti oleh penyakit manusia   modern, yaitu krisis makna.*
| SUMBER: | 
 
 
 


 
 
 
